07 February 2009

SEJARAH BOSO WALIKAN - KHAS AREMA

Di sudut kota, tepatnya di daerah Kidul Pasar, beberapa orang bergaris
wajah keras bergerombol. Mereka dari kalangan tukang parkir. Entah apa yang
mereka bicarakan. Kadang dimengerti kadang tidak. Kalau diperhatikan,
pembicaraan mereka sedang menghitung keuntungan parkir.
Itu tampak dari beberapa perkataan mereka yang sesekali menggunakan bahasa
Jawa dicampur bahasa Malangan.



"Wah nek ngene, awak kadit unyap ojir. Lha adapes2 rotom iku podho kadit
rayab blas nek parkir nang kene (wah, kalau begini, aku tidak punya uang.
Lha sepeda motor-sepeda motor itu kalau parkir di sini tidak ada yang
bayar)," kata Sukriman, salah seorang tukang parkir itu.

Lain lagi para Aremania yang ternyata sudah membumi dengan bahasa Malangan.
Penggunaan bahasa Malangan itu ternyata kerap digunakan. Ini menunjukkan
kebanggaan sebagai warga Malang. "Sekitar 80 persen Aremania menerapkan
bahasa walikan. Kami malah bangga menggunakan bahasa Malangan ketika sedang
tur mengikuti pertandingan Arema. Bahasa itu kami gunakan untuk memuji
Arema atau mengkritik tim lawan," kata Agus Kancil, ketua Korwil Aremania
Kasin.

Namun, kalau dicermati, ternyata ada bahasa yang khas istilah yang asli
Malang. Seperti genaro (orang), ebes (orang tua), ojir (uang), raijo
(uang), daroja (sepeda), dan sebagainya. Sedangkan yang lainnya, walikan
diambil dalam bahasa yang sebenarnya Misalnya, kadit itreng (tidak ngerti),
nakam (makan), nganal (laki-laki), kodew (perempuan), dan silup (polisi).
Lalu, dari mana munculnya bahasa walikan ini?
Pengamat sejarah dari Universitas Negeri Malang (UM) Dwi Cahyono menjelaskan,
bahasa walikan yang kini sudah menjadi bahasa gaul tersebut sudah lama
digunakan para pejuang di masa sebelum kemerdekaan. Bahasa walikan sudah lama
menjadi sandi-sandi khusus para pejuang untuk berkomunikasi dengan para pribumi.
"Ini digunakan untuk mengelabuhi para penjajah di zaman Belanda.
Sebab, dengan cara itu, ternyata lebih mudah menjalin hubungan dengan sesama pejuang," terang pengamat sejarah ini.

Kini bahasa walikan sudah membaur jadi satu dengan bahasa Malangan. Bahkan,
kini sudah menjadi trade mark warga Malang. "Bahasa Malangan kini sudah
menjadi bahasa gaul dari berbagai kalangan. Tidak hanya yang muda. Yang tua
pun masih awet menggunakannya. Bahkan, bahasa walikan ini bisa mempererat
hubungan persaudaraan," tutur Dwi.

----------------------------------------------------------------------
Osob kiwalan kera ngalam (bahasa terbalik Arek Malang) berasal dari
pemikiran para pejuang tempo doeloe yaitu kelompok Gerilya Rakyat Kota
(GRK). Bahasa khusus ini dianggap perlu untuk menjamin kerahasiaan,
efektifitas komunikasi sesama pejuang selain juga sebagai pengenal
identitas kawan atau lawan. Metode pengenalan ini sangat penting karena
pada masa Clash II perang kemerdekaan sekitar akhir Maret 1949 Belanda
banyak menyusupkan mata-mata di dalam kelompok pejuang Malang.


Mata-mata ini banyak yang mampu berkomunikasi dalam bahasa daerah dengan
tujuan menyerap informasi dari kalangan pejuang GRK. penyusupan ini
terutama untuk memburu sisa laskar Mayor Hamid Rusdi yang gugur pada 8
Maret 1949 dalam pertempuran dukuh Sekarputih (Desa Wonokoyo sekarang).
Seorang tokoh pejuang Malang pada saat itu yaitu Pak Suyudi Raharno
mempunyai gagasan untuk menciptakan bahasa baru bagi sesama pejuang
sehingga dapat menjadi suatu identitas tersendiri sekaligus menjaga
keamanan informasi. Bahasa tersebut haruslah lebih kaya dari kode dan sandi
serta tidak terikat pada aturan tata bahasa baik itu bahasa nasional,
bahasa daerah (Jawa, Madura, Arab, Cina) maupun mengikuti istilah yang umum
dan baku. Bahasa campuran tersebut hanya mengenal satu cara baik pengucapan
maupun penulisan yaitu secara terbalik dari belakang dibaca kedepan.


Karena keakraban dan pergaulan sehari-hari maka para pejuang dalam waktu
singkat dapat fasih menguasai 'bahas' baru ini. Sedangkan lawan dan para
penyusup yang tidak setiap hari bergaul dengan sendirinya akan kebingungan
dan selalu ketinggalan istilah2 baru. Maka siapapun yang tidak fasih
mempergunakan osob AREMA ini pasti bukan dari golongan pejuang dan
pendukungnya, sehingga kehadiran para penyusup dapat diketahui dengan cepat
serta rahasia komunikasi tetap terjaga.

Karena bahasa ini sangat bebas dan longgar aturannya maka kemungkinan
pengembangannya sangat luas untuk itu perlu disepakati beberapa istilah
penting dikalangan pejuang. Kesepakatan istilah ini diperlukan juga karena
banyak kata penting sulit untuk dibaca terbalik sehingga harus dicari
istilah dan padanan yang sesuai namun mudah diingat oleh para pelakunya.
Contohnya kata 'Belanda' dalam bahasa Jawa disebut 'Londho' yang cukup
sulit dibaca terbalik, maka dicari istilah padanannya yaitu 'Nolo'.
Demikian juga dengan 'Polisi' bukan menjadi 'Isilop' namun cukup 'Silop'.
Kemudian untuk 'mata-mata' bila dibaca terbalik menjadi 'atam'. Namun untuk
menentukan bahwa yang dimaksud dalam istilah tersebut adalah antek Belanda
maka ditambahi kata 'keat' dari asal kata 'taek' yang dalam bahasa jawa
berarti kotoran. 'Keat Atam' atau kotoran mata dalam bahasa jawa disebut
'ketek' adalah sebutan yang pas untuk para penyusup ini.


Begitu juga dengan nama peralatan perang seperti senjata genggam karena
sulit menemukan istilah yang pas maka dipakai kode samaran 'Benduk' dan
untuk laras panjang (dowo = panjang dalam bahasa Jawa) disebut 'benduk
owod' atau disingkat 'owod' saja. Sedangkan untuk menunjuk masyarakat suku
/ etnik tertentu disebut 'onet' untuk golongan Cina (asal kata 'cino' dalam
bahasa Jawa), 'arudam' untuk madura, 'arab' menjadi 'bara' dan seterusnya.
Sedang untuk menyebut diri seseorang digunakan 'uka' = aku, 'ayas' = saya,
'umak' = kamu, 'okir' = riko (kamu dalam bahasa madura).

Sedangkan untuk menyebutkan sesuatu yang baik / bagus digunakan istilah
'nez' dari asal kata bahasa arab 'zen'. Begitu pula dalam menyebut orang
tua laki-laki (ayah, Bapak) orang arab biasa menyebut dengan 'abah' atau
'sebeh' yang kemudian menjadi 'ebes'. Istilah 'ebes' kemudian menjadi
populer ditujukan sebagai gelar kehormatan tidak resmi kepada para
komandan, pemimpin atau pembesar dan pemuka masyarakat yang dituakan oleh
segenap masyarakat Malang sampai sekarang.

Suyudi Raharno pada September 1949 gugur disergap Belanda di suatu pagi
buta dipinggiran wilayah dukuh Genukwatu (Purwantoro sekarang) walaupun
keadaan pada saat itu sedang gencatan senjata. Seminggu sebelumnya salah
seorang kawan akrabnya yang turut mencetuskan 'osob kera ngalam' yaitu
Wasito juga gugur dalam pertempuran di Gandongan (Pandanwangi) sekarang.
Saat ini keduanya telah disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati -
Jalan Veteran Malang.

1 comment:

Link

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by Arema Singo Edan